
"Menurut saya, pilihannya sudah jelas tersaji, apakah mau mengeluarkan Perppu, atau tidak. Kita serahkan sepenuhnya kepada Presiden," kata Mahfud kepada hariankota.com dan awak media lain, usai menjadi narasumber seminar nasional pembukaan Kompetisi Peradilan Semu yang diselenggarakan MK di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sukoharjo, Selasa (8/10/2019).
Dijelaskan, Mahfud, karena filosofi bernegara itu antara lain, memilih pemegang kekuasaan.
Pemegang kekuasaan, boleh mengambil keputusan tentang masalah yang sedang diperdebatkan, yang sifatnya pilihan politik. Maka pilihan Presiden tentang masalah yang sedang diperdebatkan itu, harus ditaati.
Masyarakat, oleh Mahfud diminta untuk menghormati filosofi tersebut, dengan tidak mengintervensi tentang apa yang akan dipilih oleh Presiden. Tidak boleh ada yang melarang, maupun menekan Presiden untuk menerbitkan Perppu.
"Sebaiknya, kita tunggu saja. Apapun yang menjadi pilihan Preaiden, ya kita terima, kita dukung, kita beri jalan agar menjadi baik. Karena jalan hukum untuk memantapkan pelaksanaannya itu selalu ada. Soal kapan akan diputuskan Presiden, itu soal teknis. Itu saja," tegasnya.
Menyinggung kekhawatiran apakah jika Perppu dikeluarkan, kemudian Presiden dapat dimakzulkan, Mahfud secara tegas menyatakan, nggak ada kaitannya, sangat jauh sekali. Sudah ratusan Perppu diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya, tidak ada satupun yang dapat memakzulkan Presiden.
"Bahkan Perppu yang ditolak, juga banyak. Perppu yang dibuat Pak SBY dulu, sampai dua kali ditolak, nggak pa - pa, nggak sampai dimakzulkan. Jadi, Perppu itu kalau salah ya ditolak, kalau bener diterima, gitu aja.
Nggak sampai pemakzulan. Bahkan pernah ada yang dibatalkan oleh MK, yang membuat (perppu) juga nggak diapa - apain. Karena itu termasuk pilihan politik hukum," terangnya.
Yang bisa memakzulkan itu, imbuh Mahfud, kalau terjadi pelanggaran secara terang - terangan terhadap lima hal didalam konstitusi yakni, korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap ideologi negara, kemudian kejahatan besar yang diancam (hukuman) 5 tahun keatas, dan perbuatan tercela yang menjatuhkan martabat presiden sebagai pimpinan negara.